
Kendari, Datasultra.com- Setiap purnama sasih kasa (bulan ke tujuh dalam kalender Bali) setiap tahunnya, ada momen khusus yang dirasakan oleh umat Hindu Sulawesi Tenggara. Pura Penataran Agung Jagadhita Kendari kembali menjadi pusat spiritual, sosial, dan kultural yang menyatukan umat Hindu dari berbagai wilayah di 13 kabupaten/kota dari 17 kabupaten/kota yang ada di Sulawesi Tenggara.
Hal ini karena dilaksanakannya pujawali/peringatan hari jadi Pura Penataran Agung Jagadhita Kendari. Saat momen inilah umat Hindu datang, bukan hanya untuk sekadar menghaturkan dan meneguhkan bhakti, tetapi juga untuk juga merawat ingatan, memperkuat identitas dan memperbaharui tekad menjaga dharma di bumi Anoa, Sulawesi Tenggara.
Pura Penataran Agung Jagadhita Kendari yang berdiri megah di Jalan Mekar Indah, Kecamatan Kadia, Kota Kendari, bukan sekadar bangunan suci, tetapi ia adalah simbol keberanian dan semangat komunal umat Hindu yang merantau ke Sulawesi Tenggara dan secara khusus di Kota Kendari yang ketika itu membangun kehidupan baru, namun tetap setia menjaga akar spiritualnya.
Sejak “nyikut karang” (membuat pagar batas secara spiritual) pada 23 Februari 1985, hingga tahun berikutnya dilakukan upacara melaspas mendem pedagingan (sejenis upacara peresmian), bangunan Padmasana pada 09 Maret 1986 dan rangkaian upacara tulis diilhami semangat gotong royong dan rasa bhakti yang tulus. Nama “Jagadhita” yang disematkan pada pura ini pun mengandung makna mendalam.
Jagadhita berarti dunia atau semesta dan Hita berarti kesejahteraan. Harapannya sangat sederhana tapi mendalam bahwa pura ini bukan hanya tempat sembahyang, tapi juga menjadi tempat simbol sumber kesejahteraan dan kemakmuran lahir dan batin bagi semua umat Hindu di Sulawesi Tenggara, tanpa membeda-bedakan kasta maupun asal usul sebagai arus utama nilai luhur agama Hindu.
Kini hampir 40 tahun berselang, Pura Penataran Agung Jagadhita Kendari telah menjadi simbol pemersatu umat Hindu di Sulawesi Tenggara. Keberadaan pura ini menjadi tempat utama untuk pelaksanaan berbagai upacara keagamaan, pendidikan spiritual, hingga ruang sosial yang merangkul umat Hindu lintas generasi.
Semangat membangun Pura yang dimotori oleh pemuda-pemudi Hindu Sultra ketika itu, terus dijaga dengan semangat baru. Seperti dalam pelaksanaan karya agung ke 9 pada 2008 silam yaitu Ngenteg Linggih, Mupuk Pedagingan, Pedudusan Agung dan Tawur Gentuh, yang di puput oleh 12 Pandita dari Bali disusul pada tahun 2018, dilaksanakan upacara nutug karya yang ke 10 tahun yaitu karya Agung Pujawali Tawur Gentuh, yang menghabiskan dana hampir satu miliar rupiah yang sebagian besar merupakan punia dari umat dan bantuan Pemda Provinsi Sulawesi Tenggara.
Ini menjadi bukti bahwa semangat memelihara dan menjaga pura tak pernah padam, bahkan terus berkembang. Ia menjadi tempat suci bersama bagi puluhan ribu umat Hindu yang tersebar di Sulawesi Tenggara.
Sebagaimana surat edaran PHDI Sultra, Nomor 40/PHDI Sultra/VI/2025, tanggal 16 Juni 2025, yang ditujukan kepada PHDI Kab./Kota se-Sulawesi Tenggara bahwa, Pujawali Pura Penataran Agung Jagadhita Kendari akan dilangsungkan pada 10 Juli s.d 12 Juli 2025, dan puncaknya bertepatan dengan purnama sasih kasa (purnama bulan ke-7 kalender Bali).
Berbagai persiapan mulai dilakukan dengan penuh bhakti. Momentum ini adalah undangan bagi semua umat Hindu di Sulawesi Tenggara bukan sekadar untuk datang, tapi hadir secara jasmani dan juga spiritual. Hadir untuk memuja kebesaran Hyang Widhi (Tuhan) dan segala manifestasinya, menghaturkan terima kasih kepada leluhur, kepada para tetua yang telah membangun fondasi, baik secara fisik maupun nilai.
Sebab semangat membangun bahwa Pujawali di Pura Penataran Agung Jagadhita Kendari selalu punya makna religius sekaligus sosiologis. Ia bukan sekadar rutinitas keagamaan, tetapi ruang aktualisasi tradisi suci yang berkelindan dengan sejarah dan nilai luhur yang menyertainya.
Pura ini berdiri tidak dengan serta merta, tapi dengan segala kemudahan dan tantangan zaman, kadang upa karya pura yang kita saksikan saat ini berdiri megah dengan berbagai bangunan pendukung lainnya, yang dahulunya dibangun dengan proses yang sangat panjang dan dengan susah payah. Bahwa tanah atau lokasi pura ini pernah dahulu dikerjakan dengan tangan-tangan para pendahulu, arealnya pernah disukain oleh niat baik dan kerja keras bersama tanpa pamrih.
Maka setiap langkah menuju pura, seharusnya juga menjadi langkah menuju kesadaran bahwa kita memiliki tanggung jawab moral untuk merawat, melanjutkan, dan menghidupkan nilai-nilai yang telah diwariskan. Sampai saat ini kita yang kita ketahui hanya menggagumi namun belum memanfaatkannya saja.
Pujawali bukan hanya tentang menghaturkan bhakti, bukan hanya tentang memberi punia dan mengikuti upacara. Ia juga tentang meneguhkan kembali jati diri kita sebagai umat Hindu di Sulawesi Tenggara yang hidup dalam kemajemukan.
Tentang bagaimana menjadikan pura ini bukan hanya tempat sembahyang, tetapi juga pusat pendidikan, dialog, menguatnya tali kebersamaan, kekeluargaan sekaligus penguatan identitas budaya di tengah arus globalisasi yang mengikis nilai-nilai luhur yang telah diwarisi.
Dalam konteks kehidupan beragama saat ini Pura Penataran Agung Jagadhita Kendari adalah jangkar identitas umat Hindu di Sulawesi Tenggara. Ia bukan benteng eksklusif, tapi pelabuhan spiritual tempat seluruh umat Hindu menyejukkan hati dan jiwa. Ia bukan menara gading, tapi mercusuar yang memberi arah di tengah samudera tantangan hidup beragama.
Melalui momentum Pujawali ini, marilah kita tidak sekadar hadir. Mari kita bawa serta kesadaran untuk terus merawat dan memelihara apa yang telah diwariskan oleh para tokoh dan para pendahulu yang pernah berjibaku akan berdirinya pura ini, laik yang masih ada dan yang telah tiada, mengenang perjuangannya dan sekaligus mendoakannya.
Pura Penataran Agung Jagadhita ini akan terus menjadi simbol identitas kebersamaan dan menyala jika seluruh umat Hindu di Sulawesi Tenggara dapat terus menjaganya dengan cinta, semangat kebersamaan, rasa memiliki, persatuan dan kesatuan dan dengan bhakti yang tidak lekang oleh waktu.
Om Awighnam Astu Namo Siddham.
Penulis: Sekretaris PHDI Sulawesi Tenggara