Belajar Lagi Karena Hidup Tak Pernah Benar-Benar Cukup

Listen to this article

Kendari, Datasultra.com- Usia saya saat ini menjelang 43 tahun. Angka yang tidak bisa lagi disebut muda, namun juga belum pantas dikategorikan tua.

Banyak orang pada usia ini sibuk menata ulang kehidupan: menyelesaikan cicilan, menuntaskan pembangunan rumah, dan memastikan anak-anak tumbuh dengan baik.

Namun, saya memilih jalan berbeda. Di usia ini, saya memutuskan kembali kuliah. Bukan kursus singkat atau pelatihan seminggu, tapi menempuh pendidikan formal Strata Tiga (S3), dengan biaya mandiri.

Saya bukan siapa-siapa. Hanya staf biasa di sebuah instansi pusat yang berkantor di daerah. Sebelumnya guru, kini pelaksana administratif.

Di luar jam kantor, sejak 14 tahun lalu saya mengajar mata kuliah umum dan agama Hindu di beberapa perguruan tinggi, negeri maupun swasta.

Mengajar bukan karena insentif, tapi karena cinta. Karena bagi saya, berdiri di depan kelas adalah bentuk tertinggi dari kebermaknaan.

Tentu, keputusan ini tidak mudah dan tidak populer. Keuangan saya hanya cukup untuk hidup sehari-hari. Tabungan tak seberapa. Cicilan masih datang rutin. Tidak ada jaminan bahwa gelar doktor nanti akan mengubah posisi atau pendapatan.

Beberapa kawan dengan lugas bertanya, “Untuk apa S3 kalau ujung-ujungnya tetap di tempat yang sama?” Bahkan dengan nada bercanda, ada yang berkata, “Kalau sudah doktor, isi amplop undangan nikah nggak boleh cepek ceng lagi.”

Saya paham. Kekhawatiran itu wajar. Tapi bagi saya, kuliah lagi bukan soal gelar, bukan soal jabatan atau status sosial. Ini soal kebutuhan jiwa.

Saya ingin terus belajar. Ingin punya teman-teman baru yang sama-sama gelisah dan ingin tumbuh.

Saya ingin tahu rasanya dikejar tenggat tulisan ilmiah, begadang karena literatur, menyusun proposal, dan menyelesaikan disertasi.

Saya ingin mahasiswa tahu, bahwa dosennya pun masih membuka buku, masih mencari, masih belajar.

Sepuluh tahun ke depan, saya membayangkan dunia telah berubah drastis. Dosen-dosen muda, mantan mahasiswa saya, bahkan pegawai baru, bisa jadi sudah bergelar doktor.

Mungkin saat itu, gelar itu bukan lagi prestise, melainkan prasyarat minimum. Jika saya tak mulai dari sekarang, kapan lagi?

Saya menulis ini bukan untuk mengumumkan tekad, apalagi mencari tepuk tangan. Ini adalah cara saya menyemangati diri.

Dan barangkali juga Anda, yang sedang berada dalam dilema serupa. Kita sering terjebak dalam narasi “sudah cukup” atau “sudah terlambat.” Padahal, selama masih bernapas, tidak ada kata berhenti untuk belajar, berubah, dan berharap.

Saya sadar jalan ini tidak mudah. Mungkin akan ada malam-malam penuh kegelisahan. Mungkin harus memangkas pengeluaran demi biaya kuliah.

Mungkin rasa jenuh dan putus asa akan datang diam-diam. Tapi saya lebih takut menyesal karena tidak mencoba, daripada harus menyesali kegagalan yang lahir dari keberanian untuk mencoba.

Belajar memang tidak menjanjikan kenyamanan instan. Tapi ia adalah bukti bahwa kita belum menyerah terhadap hidup. Di usia berapa pun.

Oleh:Seorang staf instansi pemerintah dan pengajar perguruan tinggi, kini tengah menempuh studi doktoral

Facebook Comments Box
- Advertisement -