Menunggu Antrean, Refleksi atas kabar duka yang datang

Listen to this article

Oleh: Kadek Yogiarta

Kendari, Datasultra.com- Dalam dua hari terakhir, dua kabar duka datang berturut-turut melalui grup Banjar Kota Kendari dan WhatsApp alumni. Seorang kawan, anggota Polri berpangkat Ajun Komisaris Polisi (AKP), yang cukup saya kenal diinformasikan telah meninggal dunia. Seorang kawan satunya lagi seangkatan di bangku kuliah, juga di informasikan meninggal tanpa kabar sakit sebelumnya.

Saya kaget, mengapa begitu cepat, padahal usia mereka masih muda? Tentang kawan lama semasa kuliah, dua minggu sebelumnya saya sempat berniat meminta nomor kontaknya dari teman lain. Ada keinginan untuk berkomunikasi, bertukar kabar dan mau sekedar bertanya tentang spiritual yang dulu ia tekuni dengan penuh kesungguhan. Saya bahkan sempat mendengar kabar bahwa kehidupannya semakin membaik. Sayang, niat itu belum sempat saya wujudkan dan kini dia sudah tiada.

Kedua kabar duka ini sungguh mengejutkan. Kawan yang polisi memang sebelumnya disebut sakit mendadak, tetapi tidak ada yang menduga bahwa ajalnya begitu cepat tiba. Sementara kawan lama saya berpulang tanpa kabar apa pun, bahkan saya cek di media sosialnya juga tidak ada informasi apa-apa.

Hanya sebuah informasi di grup Whatsap Alumni dengan informasi singkat disertai foto dan ucapan, semoga Amor ing acintya. Sebagai kawan jauh yang mengenalnya di masa lalu, dan juga kawan Polisi ini saya hanya bisa mendoakan agar dapat bersatu Hyang Widhi Wasa sebagaimana keyakinan Hindu, dan keluarga yang ditinggalkan diberi keikhlasan serta ketabahan.

Namun di balik dua peristiwa itu, muncul renungan yang tidak sederhana. Seiring bertambah usia, satu per satu kawan mulai dipanggil menghadap Sang Pencipta. Hidup terasa seperti antrean panjang kita semua menunggu giliran. Entah kapan nama kita disebut, tetapi kepastian akan datangnya panggilan itu tak bisa dielakkan.

Renungan usia

Kabar duka itu membuat saya kembali sadar bahwa usia tidak lagi muda. Perasaan ini begitu nyata, seperti tamparan lembut yang menyadarkan betapa cepat waktu berjalan. Banyak hal yang semestinya bisa dilakukan belum juga terlaksana. Dalam hati kecil saya bergumam, ternyata saya semakin tua.dan baru benar-benar menyadarinya.

Kesadaran ini bukan semata perkara bertambahnya angka umur. Lebih dari itu, ia menimbulkan pertanyaan mendasar apa yang sudah dilakukan? Apakah sudah cukup memberi makna? Apakah sudah cukup menggunakan waktu untuk hal-hal penting? Atau justru banyak yang tertunda karena kita terlalu sering menunggu “nanti saja”?

Hidup yang Menunda

Pengalaman ini menyingkap kelemahan yang umum terjadi dengan kebiasaan menunda. Betapa sering kita berkata, “Ah Nanti saja” Atau nanti saya hubungi,” “Besok saya sampaikan,” atau “Suatu saat kita bertemu lagi.” Padahal, tidak ada jaminan bahwa “nanti” benar-benar ada lagi.

Kepergian dua kawan ini menjadi bukti betapa tipis jarak antara rencana dan kenyataan. Kesempatan untuk menyapa, berkomunikasi, atau sekadar mengucapkan terima kasih adalah hal sederhana yang sesungguhnya bermakna. Namun karena merasa masih ada waktu, kita kerap menunda. Hingga akhirnya, ketika kesempatan itu hilang selamanya, yang tersisa hanyalah penyesalan.

Antrean yang pasti

Metafora “menunggu antrean” mungkin terdengar suram, tetapi sesungguhnya mengandung kebenaran tak terbantahkan. Kehidupan adalah antrean panjang menuju pintu akhir. Tidak ada yang bisa mendahului atau menunda sesuai kehendaknya. Setiap orang akan dipanggil sesuai waktunya.

Kesadaran ini justru bisa menuntun kita untuk lebih bijak memaknai hidup. Jika kematian adalah kepastian, maka yang paling penting bukanlah mencari cara untuk menghindarinya, melainkan bagaimana mengisi sisa waktu menunggu dengan sesuatu yang berarti. Bukan dengan penyesalan, melainkan dengan kebaikan nyata.

Mengisi waktu yang ada

Momen duka ini memberi pelajaran berharga beranilah menghubungi kawan lama, menyapa mereka yang sudah lama tak ditemui, serta menuntaskan hal-hal yang selama ini hanya menjadi niat. Kita tidak tahu apakah kesempatan berikutnya akan datang.

Lebih dari itu, hidup perlu diisi dengan nilai spiritual, kemanusiaan, dan kebersamaan. Bagi sebagian orang, ini berarti lebih rajin beribadah. Bagi yang lain, lebih banyak meluangkan waktu untuk keluarga, atau bekerja dengan penuh integritas. Intinya, setiap orang punya kesempatan untuk mengisi antrean hidupnya dengan sesuatu yang memberi makna, baik untuk dirinya maupun untuk orang lain.

Doa dan kesadaran

Untuk kedua kawan yang telah mendahului, doa terbaik saya panjatkan. Semoga Amor ing acintya, bersatu dengan Hyang Widhi Wasa. Untuk keluarga yang ditinggalkan, semoga diberikan kekuatan, keiklasan dan ketabahan.

Bagi saya pribadi dan untuk.kita semua, bahwa kabar duka ini adalah alarm pengingat. Kita semua sedang berada dalam antrean yang sama. Tidak ada yang tahu kapan giliran itu tiba. Tetapi selama masih ada waktu, kita bisa memilih bagaimana mengisinya dengan menunda atau menuntaskan, dengan sesal atau dengan tindakan sederhana yang bermakna. Hidup ini singkat, tetapi cukup panjang untuk memberi arti. Maka dari itu, jangan tunda lagi hal-hal yang seharusnya kita lakukan hari ini.

Facebook Comments Box
- Advertisement -